Suku Samawa adalah campuran kelompok etnik-etnik pendatang yang telah membaur dengan kelompok etnik pendatang yang lebih dahulu mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa, sehingga melahirkan kesadaran akan identitas budaya sendiri yang dicirikan dengan kehadiran bahasa Sumbawa atau basa Samawa sebagai bahasa persatuan antaretnik yang mendiami sebagian pulau ini. Mahsun (2002) dalam Prospek Pemekaran Kabupaten Sumbawa mencatat bahwa sebelum bahasa Sumbawa purba (prabahasa Sumbawa) pecah ke dalam empat dialek yang ada sekarang ini, terlebih dahulu pecah ke dalam dua dialek, yaitu pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo (KSB) dan dialek Sumbawa Besar atau cikal bakalnya disebut dialek Seran. Kemudian variasi ini berkembang seiring perjalanan waktu hingga memasuki fase historis, pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo pecah lagi menjadi tiga dialek yang berdiri sendiri.
Dalam bahasa Sumbawa saat ini dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante, dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen yang dulunya dialek Selesek, serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo. Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa Suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar, Bugis, dan Makassar. Interaksi sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa menuntut hadirnya bahasa yang mampu menjembatani segala kepentingan mereka, konsekuensinya kelompok masyarakat yang relatif lebih maju akan cenderung mempengaruhi kelompok masyarakat yang berada pada strata di bawahnya, maka bahasapun mengalir dan menyebar selaras dengan perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek Sumbawabesar yang cikal bakalnya merupakan dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja Islam di Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara otomatis menempati posisi sebagai dialek standar dalam bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau regional suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek regional lain yang berada dalam bahasa Sumbawa. Dialek Samawa ini lebih lanjut isebut basa Samawa.
Sebagai bahasa yang dominan dipakai oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa, maka basa Samawa tidak hanya diterima sebagai bahasa pemersatu antaretnik penghuni bekas Kesultanan Sumbawa saja, melainkan juga berguna sebagai media yang memperlancar kebudayaan daerah yang didukung oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam kalangan elit politik, sosial, dan ekonomi, akibatnya basa Samawa berkembang dengan mendapat kata-kata serapan dari bahasa asal etnik para penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab, bahkan pada masa penjajahan basa Samawa juga menyerap kosa kata asing yang berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang sehingga basa Samawa kini telah diterima sebagai bahasa yang menunjukkan tingkat kemapanan yang relatif tinggi dalam pembahasan bahasa-bahasa daerah.
Membahas tentang karya sastra Sumbawa selalu dikaitkan dengan kehadiran aksara Kaganga atau Setera Jontal. Satera dalam basa Samawa berarti tulisan, sedang jontal berati lontar yang menurut PJ. Zoetmulder kata lontar berasal dari metatesis ron tar atau pohon tar; kata ini diperkirakan berasal dari bahasa Jawa. Lebih jauh PJ. Zoetmulder menulis bahwa orang-orang Bali dan Jawa dulu menggunakan pengutik atau pengrupak yaitu sebilah pisau kecil sebagai alat tulis yang dipakai dalam penulisan daun lontar. Alat berupa pisau kecil untuk menulis di daun lontar ini dalam basa Samawa dinamakan pangat yang kemungkinan berasal dari kata pengot dalam bahasa Jawa.
Aksara Kaganga yang pernah berkembang di Sumbawa dan sekarang mulai diajarkan lagi di sekolah-sekolah pada tingkat dasar merupakan aksara yang diadopsi dan diadaptasi dari aksara Lontara yang berkembang di Bugis-Makassar. Aksara Lontara ini dulunya mendapat pengaruh dari aksara Pallawa yang mulai digunakan untuk menulis sejumlah prasasti di Indonesia semenjak pertengahan abad ke-8 Masehi, namun kemudian aksara Lontara ini disederhanakan oleh seorang syahbandar dari Kerajaan Goa-Makassar bernama Daeng Pamatte pada abad ke-16 Masehi.
Aksara Lontara diperkirakan masuk ke Sumbawa ketika berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan Hindu di Utan pada awal abad ke-17 Masehi. Aksara ini setelah diadaptasikan dengan kondisi lingkungan Sumbawa, kemudian dikenal dengan nama Satera Jontal atau aksara Kaganga. Pengaruh aksara Lontara dalam aksara Kaganga ini dapat dilihat dari bentuk dan cara menuliskannya yang sama seperti cara mengerjakan aksar Lontara dari sumber asalnya yakni Bugis-Makassar. Para sastrawan Sumbawa dulu mengabadikan karya-karyanya dengan menulisakannnya di daun lontar yang telah dikuningkan dengan kunyit, lebar daun lontar ini sekitar 2 cm dengan panjang 12 cm, cara menuliskannya dengan menggores daun lontar tersebut menggunakan ujung pangat atau sejenis pisau kecil. Tulisan-tulisan ini kemudian dikumpulkan dalam sebuah bumung atau buk. Karya sastra sebagai sebuah proses kreativitas merupakan kristalisasi dari segala segi kehidupan yang melingkupi seorang pujangga, sehingga selain seorang pujangga dituntut untuk memiliki kemampuan menanggapi sebuah realitas kehidupan di sekelilingnya, harus pula mampu berkomunikasi dengan realitas tersebut untuk membangun kembali realitas lewat kreativitas yang dimilikinya, sehingga karya-karya ciptaannya dapat memberikan gambaran yang ideal tentang realitas yang dicermatinya, serta berperan sebagai media komunikasi budaya antara masyarakat dan pujangga sebagai pencipta karya-karya sastra tersebut.
Dengan menyimak hasil-hasil karya sastra Sumbawa, maka dapat diambil beberapa konsep dasar tentang nila-nilai yang dikandung di dalamnya, bagaimana masyarakat Sumbawa memandang realitas kehidupan di sekitarnya, kemudian merumuskannya ke dalam konsep yang diyakini dan diwujudkan dalam sikap dan tindakan mereka. Karya-karya sastra Sumbawa kebanyakan menggenggam amanat berupa nasihat yang bertolak pada ajaran pendidikan dan keimanan yang ditopang oleh kuatnya adat-istiadat, seperti yang tertuang dalam bentuk lawas (puisi), ama (peribahasa), panan (teka-teki), dan tuter (dongeng) yang sangat kental dengan pesan moralitas, agama, dan etika pergaulan hidup.
Pada umumnya karya-karya sastra Sumbawa ini cukup sulit untuk digali, diinventarisasi, dan dicatat, maupun dicari naskah-naskahnya, karena proses pewarisannya dilakukan dengan cara lisan serta turun-temurun dari para generasi pendahulu ke anak keturunanya melalui perjalanan waktu yang sangat panjang dan melewati proses budaya yang rumit, namun demikian dapat dipahami bahwa lawas merupakan akar atau induk dari segala bentuk kesenian dan tradisi Sumbawa, baik seni musik, tari, maupun adat-istiadat yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat seperti tampak dalam sekeco, tari mata rame, permainan rakyat barapan kebo dan barapan ayam, serta tradisi daur kehidupan semisal nyorong dan barodak.